“Mimpi sungguh menjadi kenyataan, akan tetapi bukan tanpa bantuan orang lain, pendidikan yang baik, etos kerja yang kuat dan keberanian untuk bersandar.” – Ursula Burns
Burns adalah salah satu dewan direksi dan CEO dari Xerox Corps dan wanita keturunan Afrika – Amerika pertama yang memimpin perusahaan yang masuk dalam jajaran Fortune 500. Ia berhasil membantu Xerox untuk bangkit dari kesulitan finansial pada awal 2000an hingga menjadi perusahaan terkemuka dunia di bidang proses bisnis dan manajemen dokumen. Pada tahun 2009, Forbes menilai Ursula Burns sebagai wanita yang paling berpengaruh di dunia di urutan ke – 14. Hal yang paling mengesankan mengenai keberhasilan Burns adalah sifatnya yang rendah hati, etos kerja yang kuat dan tekadnya untuk naik ke atas.
Dibesarkan di kawasan kumuh di timur Manhattan, Burns dibesarkan oleh ibunya yang merupakan sorang orangtua tunggal di sebuah perumahan padat penduduk. Orangtuanya merupakan imigran dari Panama dan Ibunya bekerja menjalankan sebuah penitipan anak di rumahnya dan menerima pesanan setrika pakaian. Ibunya berhasil menyekolahkan Burns dan dua saudara kandungnya di sebuah sekolah katolik swasta. Ia percaya bahwa hal tersebut adalah satu-satunya hal yang dapat membuat anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik dan untuk menjaga mereka agar tetap aman. Burns berbicara pada YMCA Women Empowering Lunch di tahun 2009 mengenai masa kecilnya sebagai berikut:
“Kami memang miskin, akan tetapi kami tidak mengetahui mengenai hal tersebut. Kami sama sekali tidak tahu seberapa besar masalah yang dihadapi ibu kami untuk membesarkan kami bertiga, Saya hanya merasa bahwa ibu kami memiliki kekuatan ajaib karena Ia merupakan seseorang yang sangat luar biasa.
Beliau memberikan kami kekuatan. Ia memberikan kami kemauan dan cinta. Saya masih dapat mendengar perkataannya bahwa Saya bukanlah Saya yang sebenarnya. Jika Saya berada pada tempat yang buruk, hal tersebut hanyalah sementara dan hal tersebut tidak akan merubah inti dari apa yang dapat Saya berikan untuk dunia.”
Menurut Burns, banyak yang mengatakan kepadanya bahwa Ia memiliki 3 hambatan besar dalam hidupnya yaitu Ia berkulit hitam, seorang wanita, dan miskin. Ketiga hal tersebut tidak membuat Burns berhenti memiliki mimpi yang besar dan menemukan jalannya sendiri dalam kehidupan. Burns merupaka seorang siswa yang pintar, pelajaran favoritnya adalah matematika. Ketika Ia menemui guru pembimbing di SMU Katedral Ia hanya diberikan 3 pilihan: mengajar, menjadi suster, atau menjadi seorang biarawati. Pada saat itulah Burns memutuskan untuk membawa dirinya untuk mencari karir yang potensial dan memilih teknik kimia sebagai jurusannya pada saat kuliah. Ia secara cepat mengetahui bahwa teknik kimia bukanlah bidang yang cocok untuknya sehingga ia mengganti jurusan menjadi teknik mesin, yang membuatnya mendapatkan gelar dari Polytechnic Institute of New York.
Burns memulai karirnya di Xerox pada tahun 1980 ketika Ia mengikuti magang musim panas untuk lulusan teknik, yang juga membantunya untuk menyelesaikan masternya di Columbia University. Ketika Burns lulus pada tahun 1981 dengan memegang gelar Master jurusan teknik mesin Ia menjadi pegawai tetap di Xerox, dengan kerja keras dan tekad yang kuat perlahan Ia membangun karier, bekerja pada departemen product development and planning sampai dengan tahun 1990 ketika pada akhirnya Wayland Hicks, seorang senior executive dapat melihat potensi dirinya hingga menawarkan posisi sebagai executive assistant kepada dirinya.
Pada tahun 200. Burns sudah menduduki posisi Senior Vice President, Corporate Strategic Services, bertanggung jawab di bidang manufacturing and supply chain operations. Pada saat itu Xerox menghadapi masalah dan memiliki masa depan yang tidak jelas. Ia bertanggung jawab untuk pusat teknik dan 5 divisi yang berbeda, senilai 80% dari keuntungan Xerox. Burns menerapkan sebuah rencana untuk menyelamatkan perusahaan dan melakukan efisiensi melalui penelitian dan pengembangan produk baru dan teknologi, yang berhasil membantu memperbaiki keadaan perusahaan. Ia bekerja bersama CEO Anne Mulcahy yang menganggap Burns sebagi suksesor. Burns akhirnya menjadi dewan direksi dan CEO pada tahun 2009, membuatnya menjadi wanita keturunan Afrika – Amerika pertama yang memimpin perusahaan yang masuk dalam jajaran Fortune 500.
Dibalik seluruh kesuksesan karier dan tunutan pekerjaannya, Burns selalu menghabiskan waktu akhir pekan dengan keluarganya dan hanya bekerja dari rumah ketika anak-anaknya telah tidur, atau pada pagi hari sebelum mereka terbangun. Ia selalu bekerja keluar dan juga berpartisipasi pada acara-acara sosial. Walaupun Burns mengatakan sulitnya untuk mempertahankan work-life balance, nampaknya Ia sebenarnya sudah sangat dekat dengan hal tersebut dan ingin menginspirasi orang lain melalui kisah suksesnya.