Selama puluhan tahun, banyak pemimpin organisasi atau perusahaan beranggapan bahwa cara paling ampuh untuk memotivasi timnya adalah dengan menjanjikan tambahan finansial dan mengancamnya dengan kerugian finansial. Seperti halnya seorang kusir yang melambaikan wortel untuk kudanya, sedangkan di belakang mereka memegang pecutan, sebagai hukuman sewaktu-waktu si kuda mogok berlari. Bedanya adalah, untuk kasus perusahaan, si pemimpin menjanjikan uang dan memberikan ancaman bahwa mereka akan dipecat jika tidak mau bekerja dengan baik.
Padahal, menurut sebuah ulasan yang ditulis di New York Times, mendasarkan pada sebuah organisasi survei tentang psikologi, motivasi paling baik adalah yang bersumber dari keinginan untuk membantu sesama, membantu orang lain. Bukan sesuatu yang berbau reward maupun punishment.
Pada masa lampau, management memang identik dengan seleksi alam, yang bisa bertahan adalah mereka yang paling pintar menyesuaikan diri. Anggapan ini membuat orang-orang berpikir bahwa membantu orang lain adalah buang-buang waktu dan tidak berguna. Akhirnya mereka mengabaikan fakta bahwa ternyata keinginan membantu orang lain adalah motivasi yang hebat untuk meningkatkan performa karyawan.
Dalam tulisannya di inc.com, Geoffrey James, seorang ahli sales management, memaparkan bahwa ia selalu mengawali wawancara kandidat yang ia seleksi dengan satu pertanyaan, “Apa yang paling kamu sukai dari pekerjaanmu?”
Menurutnya, kandidat-kandidat yang sukses dalam pekerjaannya secara umum menjawab bahwa mereka yang mereka sukai adalah kesempatan bagi mereka untuk membantu orang lain. Tidak hanya konsumen, tetapi juga partner kerjanya di perusahaan/organisasi. Pun ketika sedang menulis bukunya, yang berjudulBusiness Without the Bullsh*tia merasa bahwa salah satu hal yang membuat dia bersemangat adalah potensi bahwa buku yang ia tulis akan membantu orang lain memecahkan masalahnya.
Kesimpulannya, dengan kita berfokus untuk membantu orang lain daripada mementingkan diri sendiri, kita akan mendapatkan motivasi yang sangat kuat. Motivasi tersebut membebaskan kreativitas dan energy sehingga kita dapat menghadapi permasalahan dengan lebih sabar dan empati. Jika kita dapat mengaplikasikan hal tersebut, maka dunia kerja yang kita bangun bukanlah “dog eat dog” melainkan “let’s make this happen together”.
Sumber: Portalhr.com